-
Zoomtemplate.com is a free professionally designed and search engine optimized Blogger Templates collection. It is currently the fastest growing Blogger Templates blog.The blog has numerous templates which are categorized properly in a Categories menu and Tags so it is for you to find the right Blogger templates for your Blogger/Blogspot blog -
Zoomtemplate.com is a free professionally designed and search engine optimized Blogger Templates collection. It is currently the fastest growing Blogger Templates blog.The blog has numerous templates which are categorized properly in a Categories menu and Tags so it is for you to find the right Blogger templates for your Blogger/Blogspot blog. -
Zoomtemplate.com is a free professionally designed and search engine optimized Blogger Templates collection. It is currently the fastest growing Blogger Templates blog.The blog has numerous templates which are categorized properly in a Categories menu and Tags so it is for you to find the right Blogger templates for your Blogger/Blogspot blog. -
Zoomtemplate.com is a free professionally designed and search engine optimized Blogger Templates collection. It is currently the fastest growing Blogger Templates blog.The blog has numerous templates which are categorized properly in a Categories menu and Tags so it is for you to find the right Blogger templates for your Blogger/Blogspot blog. -
Zoomtemplate.com is a free professionally designed and search engine optimized Blogger Templates collection. It is currently the fastest growing Blogger Templates blog.The blog has numerous templates which are categorized properly in a Categories menu and Tags so it is for you to find the right Blogger templates for your Blogger/Blogspot blog.
Minggu, 20 Juni 2010
Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya Dapat Ditemukan Hadits Hasan
1. Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.
2. Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.
3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini
Rabu, 16 Juni 2010
V. Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
-
Shahih Bukhari
-
Shahih Muslim
-
Riyadhus Shalihin
IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits
A. Muttafaq 'Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.
B. As Sab'ah
As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:
-
Imam Ahmad
-
Imam Bukhari
-
Imam Muslim
-
Imam Abu Daud
-
Imam Tirmidzi
-
Imam Nasa'i
-
Imam Ibnu Majah
C. As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.
D. Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.
E. Al Arba'ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
F. Ats tsalatsah
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
G. Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.
H. Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.I. Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.
I. Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.
III. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
A. Hadits Maudhu'
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.
B. Hadits Matruk
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
C. Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.
D. Hadits Mu'allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).
E. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.
F. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
G. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
H. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
I. Hadits Syadz
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.v
II. Menurut Macam Periwayatannya
Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.
Hadits yang terputus sanadnya
1. Hadits Mu'allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if.
2. Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.
3. Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
4. Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in.
5. Hadits Mu'dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.
I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi
A. Hadits Mutawatir
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
-
Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
-
Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
-
Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
B. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
1. Hadits Shahih
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
-
Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
-
Harus bersambung sanadnya
-
Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
-
Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
-
Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
-
Tidak cacat walaupun tersembunyi.
2. Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
3. Hadits Dha'if
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
Mengenal Ilmu Hadits
HADITS ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.
ATSAR ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.
TAQRIR ialah keadaan Nabi Muhammad SAW yang mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
SAHABAT ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam keadaan islam.
TABI'IN ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau sebentar, dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.
MATAN ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, atau disebut juga isi hadits.
Unsur-Unsur Yang Harus Ada Dalam Menerima Hadits
Rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang atau gurunya. Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan hadits dan orangnya disebut perawi hadits.
Sistem Penyusun Hadits Dalam Menyebutkan Nama Rawi
As Sab'ah berarti diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu :
1. Ahmad
2. Bukhari
3. Turmudzi
4. Nasa'i
5. Muslim
6. Abu Dawud
7. Ibnu Majah
As Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad
Al Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim
Al Arba'ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'a) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim.
Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.
Asy Syaikhon berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu : Bukhari dan Muslim
Al Jama'ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya (lebih dari tujuh perawi / As Sab'ah).
Matnu'l Hadits adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sahabat ataupun tabi'in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .
Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu'l hadits kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .
Gambaran Sanad
Untuk memahami pengertian sanad, dapat digambarkan sebagai berikut: Sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam didengar oleh sahabat (seorang atau lebih). Sahabat ini (seorang atau lebih) menyampaikan kepada tabi'in (seorang atau lebih), kemudian tabi'in menyampaikan pula kepada orang-orang dibawah generasi mereka. Demikian seterusnya hingga dicatat oleh imam-imam ahli hadits seperti Muslim, Bukhari, Abu Dawud, dll.
Contoh:
Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Bukhari berkata hadits ini diucapkan kepada saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada saya oleh B, dan B berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan kepada saya oleh D, dan D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad.
Awal Sanad dan akhir Sanad
Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya (awal) dan ada kesudahannya (akhir). Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah D.
Klasifikasi Hadits
Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah:
Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits.
Hadits Makbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.
Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.
Syarat-syarat Hadits Shohih
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
Rawinya bersifat Adil
Sempurna ingatan
Sanadnya tidak terputus
Hadits itu tidak berillat dan
Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil, yaitu :
Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'.
Klasifikasi Hadits Dhoif berdasarkan kecacatan perawinya
Hadits Maudhu': adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun tidak.
Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
Hadits Mu'allal (Ma'lul, Mu'all): adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
Hadits Muharraf: adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
Hadits Mushahhaf: adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
Hadits Mukhtalith: adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan gugurnya rawi
Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'in.
Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
Hadits Mu'dlal: adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'in, tabi'in bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi'in.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan sifat matannya
Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak.
Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif ?
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu' maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada yaitu:
Pendapat Pertama Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnul 'Araby.
Pendapat Kedua Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla'ilul a'mal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah).
Para imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata: "Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami perlunak rawi-rawinya."
Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:
Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan)
Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.
Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi :
[1] Hadits Mutawatir: adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
Syarat syarat hadits mutawatir
Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.
Jumlah rawi-rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong/dusta.
Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5 sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi'in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.
[2] Hadits Ahad: adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.
Klasifikasi hadits Ahad
Hadits Masyhur: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
Hadits Aziz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
Hadits Gharib: adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi
Adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada nabiNya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits Nabawi
Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :
Qala ( yaqalu ) Allahu
Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala
Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an:
Semua lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian.
Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur'an, tidak berlaku pada hadits qudsi. Seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll.
Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur'an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
Meriwayatkan Al-Qur'an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian.
Bid'ah
Yang dimaksud dengan bid'ah ialah sesuatu bentuk ibadah yang dikategorikan dalam menyembah Allah yang Allah sendiri tidak memerintahkannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya, serta para sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya.
Kewajiban sebagai seorang muslim adalah mengingatkan amar ma'ruf nahi munkar kepada saudara-saudara seiman yang masih sering mengamalkan amalan-amalan ataupun cara-cara bid'ah.
Alloh berfirman, dalam QS Al-Maidah ayat 3, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu." Jadi tidak ada satu halpun yang luput dari penyampaian risalah oleh Nabi. Sehingga jika terdapat hal-hal baru yang berhubungan dengan ibadah, maka itu adalah bid'ah.
"Kulu bid'ah dholalah..." semua bid'ah adalah sesat (dalam masalah ibadah). "Wa dholalatin fin Naar..." dan setiap kesesatan itu adanya dalam neraka.
Beberapa hal seperti speaker, naik pesawat, naik mobil, pakai pasta gigi, tidak dapat dikategorikan sebagai bid'ah. Semua hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk ibadah yang menyembah Allah. Ada tata cara dalam beribadah yang wajib dipenuhi, misalnya dalam hal sembahyang ada ruku, sujud, pembacaan al-Fatihah, tahiyat, dst. Ini semua adalah wajib dan siapa pun yang menciptakan cara baru dalam sembahyang, maka itu adalah bid'ah. Ada tata cara dalam ibadah yang dapat kita ambil hikmahnya. Seperti pada zaman Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggunakan siwak, maka sekarang menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, terkecuali beberapa muslim di Arab, India, dst.
Menemukan hal baru dalam ilmu pengetahuan bukanlah bid'ah, bahkan dapat menjadi ladang amal bagi umat muslim. Banyak muncul hadits-hadits yang bermuara (matannya) kepada hal bid'ah. Dan ini sangat sulit sekali untuk diingatkan kepada para pengamal bid'ah.
Apakah yang menyebabkan timbulnya Hadits-Hadits Palsu?
Didalam Kitab Khulaashah Ilmil Hadits dijelaskan bahwa kabar yang datang pada Hadits ada tiga macam:
Yang wajib dibenarkan (diterima).
Yang wajib ditolak (didustakan, tidak boleh diterima) yaitu Hadits yang diadakan orang mengatasnamakan Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Yang wajib ditangguhkan (tidak boleh diamalkan) dulu sampai jelas penelitian tentang kebenarannya, karena ada dua kemungkinan. Boleh jadi itu adalah ucapan Nabi dan boleh jadi pula itu bukan ucapan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (dipalsukan atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).
Untuk mengetahui apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada beberapa cara, diantaranya:
Atas pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadits hadits yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).
Dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.
Terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan Al-Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada dalam ayat-ayat Qur'an.
Terdapat kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya).
Sebab-sebab terjadi atas timbulnya Hadits-hadits Palsu
Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam. Misalnya dari kaum Orientalis Barat yang sengaja mempelajari Islam untuk tujuan menghancurkan Islam (seperti Snouck Hurgronje).
Untuk menguatkan pendirian atau madzhab suatu golongan tertentu. Umumnya dari golongan Syi'ah, golongan Tareqat, golongan Sufi, para Ahli Bid'ah, orang-orang Zindiq, orang yang menamakan diri mereka Zuhud, golongan Karaamiyah, para Ahli Cerita, dan lain-lain. Semua yang tersebut ini membolehkan untuk meriwayatkan atau mengadakan Hadits-hadits Palsu yang ada hubungannya dengan semua amalan-amalan yang mereka kerjakan. Yang disebut 'Targhiib' atau sebagai suatu ancaman yang yang terkenal dengan nama 'At-Tarhiib'.
Untuk mendekatkan diri kepada Sultan, Raja, Penguasa, Presiden, dan lain-lainnya dengan tujuan mencari kedudukan.
Untuk mencari penghidupan dunia (menjadi mata pencaharian dengan menjual hadits-hadits Palsu).
Untuk menarik perhatian orang sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ahli dongeng dan tukang cerita, juru khutbah, dan lain-lainnya.
Hukum meriwayatkan Hadits-hadits Palsu
Secara Muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.
Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau mebacakannya) maka tidak ada dosa atasnya.
Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, maka hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, maka hukumnya tidak boleh (berdosa - dari Kitab Minhatul Mughiits).
(Sumber Rujukan: Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu - Muhammad Nashruddin Al-Albany; Kitab Hadits Maudhlu - Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah; Kitab Mengenal Hadits Maudhlu - Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy; Kitab Kalimat-kalimat Thoyiib - Ibnu Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin Al-Albany); Kitab Mushtholahul Hadits - A. Hassan)
Sumber: http://mediaislam.fisikateknik.org
Sanad dan Matan
Sanad atau isnad secara bahasa artinya sandaran, maksudnya adalah jalan yang bersambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya. Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Sahabat. Misalnya al-Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka al-Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum al-Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan Shahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan akhir sanad.
Matan secara bahasa artinya kuat, kokoh, keras, maksudnya adalah isi, ucapan atau lafazh-lafazh hadits yang terletak sesudah rawi dari sanad yang akhir.
Para ulama hadits tidak mau menerima hadits yang datang kepada mereka melainkan jika mempunyai sanad, mereka melakukan demikian sejak tersebarnya dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipelopori oleh orang-orang Syi’ah.
Seorang Tabi’in yang bernama Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H) rahimahullah berkata, “Mereka (yakni para ulama hadits) tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang menyampaikannya Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul bid’ah, maka haditsnya ditolak.’”[1]
Kemudian, semenjak itu para ulama meneliti setiap sanad yang sampai kepada mereka dan bila syarat-syarat hadits shahih dan hasan terpenuhi, maka mereka menerima hadits tersebut sebagai hujjah, dan bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka mereka menolaknya.
Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu termasuk dari agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata sekehendaknya apa yang ia inginkan"[2]
Para ulama hadits telah menetapkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok pembahasan bagi tiap-tiap sanad dan matan, apakah hadits tersebut dapat diterima atau tidak. Ilmu yang membahas tentang masalah ini ialah ilmu Mushthalah Hadits.
PEMBAGIAN AS-SUNNAH MENURUT SAMPAINYA KEPADA KITA
As-Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita dilihat dari segi sampainya dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir ialah berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan secara bersamaan oleh orang-orang kepercayaan dengan cara yang mustahil mereka bisa bersepakat untuk berdusta.
Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:
[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan (menyampaikannya) dengan kalimat pasti.
[2]. Sandaran penyampaian kepada sesuatu yang konkret, seperti penyaksian atau mendengar langsung, seperti:
"sami'tu" = aku mendengar
"sami'na" = kami mendengar
"roaitu" = aku melihat
"roainaa" = kami melihat
[3]. Bilangan (jumlah) mereka banyak, mustahil menurut adat mereka berdusta.
[4]. Bilangan yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan sampai akhir sanad, rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang.[3]
Hadits ahad ialah hadits yang derajatnya tidak sampai ke derajat mutawatir. Hadits-hadits ahad terbagi menjadi tiga macam.
[a]. Hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 3 sanad.
[b]. Hadits ‘aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 2 sanad.
[c]. Hadits gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 1 sanad.[4]
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab I : As-Sunnah Dan Definisinya, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
Catatan Kaki:
[1] Muqaddimah Shahih Muslim.
[2] Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (1/87).
[3] Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 19-20).
[4] Lihat rinciannya dalam kitab Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 22-31)
Pengertian Hadits
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
-
Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
-
Hadits Mutawatir
-
Hadits Ahad
-
Hadits Shahih
-
Hadits Hasan
-
Hadits Dha'if
-
-
-
Menurut Macam Periwayatannya
-
Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
-
Hadits yang terputus sanadnya
-
Hadits Mu'allaq
-
Hadits Mursal
-
Hadits Mudallas
-
Hadits Munqathi
-
Hadits Mu'dhol
-
-
-
Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
-
Hadits Maudhu'
-
Hadits Matruk
-
Hadits Mungkar
-
Hadits Mu'allal
-
Hadits Mudhthorib
-
Hadits Maqlub
-
Hadits Munqalib
-
Hadits Mudraj
-
Hadits Syadz
-
-
Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
-
Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
Jumat, 21 Mei 2010
Beriman dan Istiqomah (Hadits ke-21 Arbain An-Nawawi)
Kamis, 20 Mei 2010
Berhujjah dengan hadits Dla’if dan mengamalkannya perlu ada perinciannya:
Pengamalannya di dalam masalah-masalah hukum (al-Ahkâm) tidak diperbolehkan juga menurut mayoritas Ulama.
Sedangkan pengamalannya di dalam Fadlâ`il al-A’mâl (amalan-amalan yang memiliki keutamaan), Tafsir, al-Maghâziy (berita-berita seputar peperangan-peperangan) dan Sirah, mayoritas para ulama membolehkannya dengan syarat-syarat sebagai berikut:
- Hadits yang dijadikan hujjah/diamalkan tersebut tidak Dla’if (Lemah) sekali.
- Permasalahan yang dibicarakan di dalam hadits yang Dla’if tersebut masih berada di dalam kawasan prinsip dasar umum. Alias bukan terpisah dan sudah menjadi cabang tersendiri.
- Ketika mengamalkan hadits Dla’if tersebut, tidak meyakini kevalidannya (bahwa ia adalah hadits yang shahih) bahkan harus meyakininya sebagai sikap preventif.
Imam an-Nawawy telah menukil ijma’ para ulama mengenai hukum mengamalkan hadits Dla’if dalam masalah Fadlâ`il al-A’mâl padahal sebenarnya ada banyak ulama terkenal yang tidak sependapat dengan hal itu, diantaranya Abu Hâtim, Abu Zur’ah, Ibn al-‘Araby, asy-Syawkany dan ulama kontemporer, Syaikh al-Albany. Demikian pula pendapat yang tersirat dari ucapan Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim serta petunjuk yang didapat di dalam dua kitab Shahih; Shahîh al-Bukhary dan Shahîh Muslim.
Maka berdasarkan hal ini, hadits Dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak dalam bab apapun di dalam dien ini, dan ketika diucapkan/dibicarakan semata hal itu untuk sekedar pendekatan (bersifat preventif).
Ibn al-Qayyim mengisyaratkan dimungkinkannya untuk menggunakan Hadits Dla’if tersebut ketika dalam kondisi akan menguatkan dua diantara ucapan yang seimbang. Namun pendapat yang tepat adalah bahwa hadits Dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak selama dugaan terhadap validitasnya masih lemah dan selama ia tidak mencapai derajat Hasan Li Ghairihi (Menjadi Hasan karena ada penguat/pendukungnya dari sisi sanad dan matan yang lain).
(Disarikan dari Jawaban Syaikh DR.’Abdul Karim bin ‘Abdullah al-Khudlair [Dosen pada Fakultas Ushuluddin di Jâmi’ah al-Imam Muhammad bin Su’ûd], Majallah ‘ad-Da’wah’, Vol.1890, Tgl. 29-02-1424 H ).
CATATAN:
Ada ulama yang menambahkan satu syarat lagi, yaitu, ketika berhujjah dengan hadits Dla’if dan menyampaikannya di dalam suatu majlis, maka harus disebutkan ke-dla’if-an haditst tersebut. Wallahu a’lam
Berhujjah Dengan Hadits Dla'if
Oleh karena itu, perlu kiranya diketahui kapan berhujjah dan mengamalkan hadits Dla’if itu dibenarkan dan apa pula persyaratannya?.
Untuk itu, disini kita akan membahas sedikit tentang hukum berhujjah dengannya dan persyaratannya
D. Fatwa Ulama Kontemporer
"Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah 'aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa tinjauan:
Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu :
"Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat"
Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya.
Bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengirimkan individu-individu (orang per-orang) guna mengajarkan permasalahan 'aqidah yang prinsipil (Ushûl al-'Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima.
Bila kita mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah (hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-'Amaliyyah selalu disertai oleh suatu 'aqidah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukum-hukum syara' yang tidak berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam ini harus ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak ada bedanya.
Bahwa Allah Ta'ala memerintahkan orang yang jahil/tidak tahu agar merujuk kepada pendapat Ahl al-'Ilm (ulama) terhadap salah satu permasalahan 'aqidah yang maha penting, yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui". (Q.,S. 16/an-Nahl: 43)… dan hal ini mencakup pertanyaan yang diajukan oleh individu atau kelompok.
Kesimpulannya:
Bahwa bila ada qarâ-in yang mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid, maka ia dapat menginformasikan ilmu pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) dan dapat dijadikan landasan dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah dan 'Ilmiyyah. Sedangkan orang yang membedakan antara kedua hukum ini tidak memiliki dalil untuk membedakannya, bila dia menisbatkan pendapat ini kepada salah seorang imam (ulama mazhab yang empat, misalnya -red) tentang adanya pembedaan antara keduanya, maka dia harus menguatkan statementnya itu dengan sanad (landasan) yang shahîh dari imam tersebut, kemudian juga menjelaskan landasan yang dijadikannya sebagai dalil. (Fahd bin Nâshir bin Ibrâhîm al-Sulaimân (editor), Majmû' Fatâwa wa Rasâil Fadlîlah asy- Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn, (Riyadl: Dâr at-Tsurayya, 1414 H/1994 M), Cet. II, hal. 31-32)
C. Sekilas Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy
Dimasa hidup beliau, timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritasnya selalu menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua, tidak menerima as-Sunnah kecuali bila semakna dengan al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias menolak HadIts Ahâd.
Beliau menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas; kelompok pertama dan kedua tersebut secara terang-terangan ingin merontokkan as-Sunnah dan tidak menganggapnya sebagai salah satu sumber utama hukum Islam yang bersifat independen sementara kelompok ketiga, tidak kurang dari itu.
Terhadap kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya saja. Demikian pula terhadap kelompok kedua, bahwa implikasinya sama saja dengan kelompok pertama.
Sedangkan terhadap kelompok ketiga, beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi yang valid dan detail. Diantara bantahan tersebut adalah sebagai berikut:
Di dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang jumlahnya tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan alasan tidak dapat mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka.
Bahwa di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka mutawatir alias Hadits Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri' (Allah Ta'ala) tetap mewajibkan hal itu.
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam membolehkan orang yang mendengar darinya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut meskipun hanya oleh satu orang saja. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
"Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang (seorang hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga menyampaikannya; (sebab) betapa banyak orang yang membawa ilmu (hanya berilmu dan tidak lebih ilmunya namun dia menghafal dan menyampaikannya) kepada orang yang lebih berilmu darinya dan betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi dia tidak berilmu (namun mendapatkan pahala menyampaikannya). (H.R.Abu Daud)
Para shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah secara individu-individu dan tidak mensyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.
Demikianlah diantara bantahan beliau di dalam menegaskan wajibnya menerima hadits Ahâd. (Penggalan dari materi Buletin an-Nur, dengan tema: Imam asy-Syafi'iy; pembelaannya terhadap as-Sunnah)
B. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid) Di Dalam Masalah 'Aqidah
Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di dalam masalah 'Aqidah kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah. Jika tidak demikian, maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap bathil, kecuali bila mengandung interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan.
Teori berfikir kaum Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum Ahli Kalam (Mutakallimin) dari tokoh Asyâ'irah (Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-Ma'âliy al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Râziy.
BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT INI
Untuk membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan sebelumnya bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat) dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) sebab alasan utama yang dijadikan pegangan oleh mereka yang menolak tersebut hanyalah : Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak boleh dijadikan hujjah di dalam masalah-masalah 'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat Zhanniy (tidak pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.
ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA (MADZHAB SALAF) DI DALAM MASALAH INI
1. Membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) merupakan perbuatan BID'AH (mengada-ada) yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (Salaf). Bahkan biografi dan karya-karya tulis mereka menunjukkan hal yang amat kontras sama sekali dengan hal itu. Para shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan Ahl al-Hadits dan as-Sunnah masih senantiasa berhujjah dengan khabar-khabar seperti itu di dalam menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar, Asmâ`, Hukum-hukum, dan lain sebagainya.
2. Adanya khabar-khabar (hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam tentang tindakan beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke pelbagai pelosok negeri, demikian juga kepada para raja, kisra, kaisar dan selain mereka dalam rangka mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu, hal pertama yang disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah.
Diantara indikasinya adalah sabda beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam kepada Mu'adz bin Jabal ketika hendak mengutusnya ke negeri Yaman:
إنك تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله -عز وجل- . وفي رواية : فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله ...""
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab; maka hendaklah hal pertama yang engkau dakwahi/ajak mereka kepadanya (adalah) agar beribadah kepada Allah 'Azza Wa Jalla."
Di dalam riwayat yang lain,
"…Maka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa Tiada Ilah (Tuhan) -yang haq disembah- selain Allah."
3. Membeda-bedakan antara masalah 'Aqidah dan Hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) pada dasarnya hanya berpijak pada kerangka berfikir bahwa: amal perbuatan tidak ada kaitannya dengan 'Aqidah dan 'Aqidah tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum 'amaliyyah (praktis).
Kedua statement ini adalah Bathil dan termasuk bid'ah (hal yang diada-adakan) oleh Ahli Kalam. Islam justeru membawa hal yang amat kontras dengan itu semua; Tidak ada hukum yang bersifat 'amaliy (praktis) kecuali ia selalu berkaitan dengan dasar-dasar 'aqidah, yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia telah mengutus Rasul-Nya agar menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan kebenaran Rasul, amanahnya di dalam menyampaikan risalah kemudian beriman kepada konsekuensi-konsekuensi dari hukum 'amaliy tersebut yang berupa pahala atau dosa; kesengangan atau kesengsaraan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…"
Ayat diatas menunjukkan hukum 'amaliy, kemudian Allah Ta'ala berfirman :
"…jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.s., an-Nûr :2)
Jadi, (dalam penutup ayat ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum 'amaliy dengan 'aqidah beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
(Diambil dari buku Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd , karya Syaikh 'Utsman 'Ali Hasan, Hal.42-48)
A. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )
Definisi
Hadits Ahad adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits 'Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama'ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu. (dari Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadal ula 1421 H)
Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat seputar masalah: Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin)?
I. Pendapat Pertama:
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.
Ini adalah pendapat yang dinisbahkan (dilekatkan) kepada Imam as-Sunnah, Imam Ahmad dan Madzhab Ahl azh-Zhâhir (Zhâiyyah), namun penisbahan ini TIDAK BENAR SAMA SEKALI.
IMAM AHMAD dikenal sebagai Ahli al-Jarh wa at-Ta'dîl (ulama kritikus Hadits) dan tidak dapat dihitung berapa banyak bantahan beliau terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan para periwayat kategori LEMAH. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap apa yang dituduhkan kepada diri beliau tersebut.
Sedangkan Ibn Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan berfungsinya Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sebagai pemberi informasi ilmu (hal yang yaqin dan pasti) dengan 'adâlah (keadilan) sang perawi hadits.
BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT PERTAMA INI
Pendapat tersebut jelas-jelas TIDAK BENAR DAN TIDAK MASUK AKAL, sebab bagaimana mungkin kita bisa membayangkan ada orang berakal yang membenarkan semua berita yang didengarnya, padahal kita tahu bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi berbohong dan suka lalai.
II. Pendapat Kedua
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd TIDAK DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.
Ini adalah pendapat sebagian Ahli Kalam (Mutakallimin) dan Ulama Ushul Fiqih (Ushuliyyun) sekalipun sebagian dari ulama Ushul ini seperti al-Juwainiy dan Abu Manshur al-Baghdadiy telah menyebutkan di dalam sebagian kitab mereka pendapat yang justeru sepakat dengan PENDAPAT KETIGA nanti.
Demikian juga, penisbahan pendapat ini kepada mayoritas Ahli Fiqih dan Ahli Hadits perlu dikritisi dan diberikan catatan terlebih dahulu.
SYUBHAT MEREKA
Mereka berkata, "Sesungguhnya kami di dalam menerima Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sekalipun tingkat 'adalah nya mencapai puncaknya, tidak mendapatkan pada diri kami selain persentase dominan bagi kebenarannya atas kebohongannya namun tanpa dapat memastikan.
JAWABAN TERHADAP PENDAPAT TERSEBUT
Kalau argumentasi anda demikian, maka kami juga akan katakan bahwa terhadap Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, justeru kami mendapatkan pada diri kami informasi ilmu dan kepastian tentangnya, bukan seperti yang anda katakan bahwa antara yang satu dengan yang lain tidak ada yang lebih unggul. Manakala anda tidak mendapatkan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) pada diri anda, maka itu urusan pribadi anda, tidak boleh digeneralisir sebab ia hanyalah pemberitaan terhadap apa yang ada di dalam diri anda sendiri. Hal ini dikarenakan, anda tidak memiliki jalur-jalur yang dapat menginformasikan ilmu kepada anda sebagaimana yang didapat oleh Ahlussunnah dan al-Hadits, yang memang melakoninya dan menghabiskan usia mereka untuk mendapatkan dan mencarinya.
Karena itu, kami katakan kepada orang yang menolak Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, "Alihkan perhatian anda kepada hadits, antusiaslah untuk itu, kumpulkan, telusuri jalur-jalurnya, kenali kondisi para periwayat dan biografi mereka, jadikan hal itu sebagai tumpuan tuntutan dan akhir tujuan anda. Bila hal ini anda lakukan, maka ketika itu anda akan mengetahui: "Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut memberikan informasi ilmu kepada anda atau tidak?." Sedangkan bila anda ogah-ogahan terhadapnya dan di dalam mencarinya, maka sudah tentu ia tidak akan memberikan informasi ilmu kepada anda.
Nah, andaikata anda tetap juga mengatakan bahwa ia tidak memberikan informasi ilmu kepada anda karena menduga-duga; maka itu artinya, anda telah menginformasikan berita yang terkait dengan bagian dan jatah anda sendiri dari hal itu (yang tidak anda ketahui sehingga tidak perlu melibatkan orang lain).
III. Pendapat Ketiga
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA BERSYARAT
Inilah pendapat YANG SHAHIH.
Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat), sementara Qarînah (bentuk tunggal dari Qarâ`in) bisa jadi terkait dengan khabar itu sendiri; bisa jadi terkait dengan Mukhbir (pembawa berita) dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya. Termasuk dalam hal ini, Khabar Mustafîdl (berita yang demikian banyak, tak terhingga; baca: belecekan) yang pada awalnya hanya diriwayatkan oleh seorang, lalu menjadi banyak dan masyhur dan Khabar yang sudah mendapatkan penerimaan dari umat (al-Khabar al-Mutalaqqa 'Indal Ummah bi al-Qabûl), atau oleh sebagian ulama terkait di bidangnya yang diantaranya ada diriwayatkan oleh asy-Syaikhân (Imam Bukhariy dan Muslim) atau salah seorang dari keduanya, diantaranya juga ada yang merupakan hadits Musalsal (bermata rantai) dengan para Imam yang Hâfizh seperti Imam Malik dari Nafi' dari Ibn 'Umar. Khabar ini dan sejenisnya jelas memberikan informasi ilmu menurut JUMHUR Ahli Hadits, Ahli Ushul, mayoritas Ahli Kalam, semua Ulama Salaf dan para Ahli Fiqih umat. Dalam masalah ini, antara ulama Salaf tidak terdapat perselisihan pendapat.
ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA
Alhamdulillah, dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini banyak sekali, diantaranya:
- Membeda-bedakan antara Khabar al-Wâhid (Hadîts Ahâd) dan Hadits Mutawatir di dalam menginformasikan ilmu merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat, tidak didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, tidak pernah dikenal oleh para shahabat ataupun para Tabi'in.
Realitasnya, informasi yang disampaikan langsung oleh Rasulullah dibenarkan oleh kaum Mukminin (para shahabat) tanpa mereka perlu mendapatkannya melalui pembawa-pembawa berita yang mutawatir (dalam jumlah banyak). Demikian pula sebaliknya, Rasulullah sendiri membenarkan berita/informasi yang disampaikan oleh para shahabat beliau. Para shahabat, satu sama lainnya juga saling membenarkan, demikian pula dengan para Tabi'in, mereka membenarkan berita yang dibawa oleh para shahabat dan sejawat-sejawat mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata terhadap orang yang memberikan informasi kepada mereka, "Khabar yang kamu bawa adalah Khabar Ahâd, tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin)… sehingga kemudian ia bisa menjadi Mutawatir.
Masalah adanya diantara mereka, orang yang abstain (tawaqquf) terhadap suatu informasi hingga mendapatkan penegasan dari orang lain, tidak berarti sama sekali bahwa mereka semua menolak Khabar Ahâd.
Hanya saja, memang dalam momen yang amat jarang, mereka sangat ekstra hati-hati di dalam menerima informasi.
Oleh karena itu, kami tegaskan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat. Sebab, pendapat yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) tidak memberikan informasi ilmu secara mutlak justeru dapat memandegkan urusan dien dan dunia sekaligus. Ini adalah bentuk pembatalan yang terang-terangan terhadap ijma' para shahabat, Tabi'in dan para ulama setelah mereka.
- Rasulullah pernah mengirimkan para shahabatnya kepada para raja dan penguasa untuk menyampaikan risalah Rabb-nya secara orang per-orang (Ahâd). Andaikata khabar yang mereka bawa tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), tentu beliau tidak akan pernah mengirimkan mereka secara per-orangan seperti itu, sebab jelas hal itu perbuatan sia-sia yang amat jauh dari kepribadian seorang pembawa Risalah yang seharusnya bersih dari melakukan kesia-siaan seperti itu.
- Ketika ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin saat mereka sedang shalat shubuh (atau shalat lainnya) di Quba` bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar yang dibawanya dan meninggalkan hujjah yang masih mereka pegang dan bersifat pasti, lalu mereka memutar ke belakang mengarah ke Kiblat sebagai pemenuhan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya yang disampaikan kepada mereka sekalipun hanya melalui jalur satu orang.
Kenyataannya, Rasulullah tidak mengingkari sikap mereka terhadap hal itu, bahkan sebaliknya, berterimakasih atas tindakan mereka tersebut.
Mukaddimah
Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah sejauh mana keberpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah melalui argumentasi-argumentasi yang kuat, valid dan meyakinkan.
Ada golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa Hadits Ahâd bukan hujjah bagi 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan Qath'iy ats-Tsubût (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut tidak dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin).
Benarkah statement-statement yang mereka lemparkan?, berikut ulasan mengenai masalah yang amat prinsipil dan urgen tersebut.
Semoga bermanfa'at bagi kita semua.
Beberapa Hadits Dha'if Dan Palsu Seputar Puasa Ramadhan
Untuk itu, perlu sedikit disini kita mengetahui beberapa diantara hadits-hadits tersebut:
1. Hadits
لَوْ يَعْلَمُ اْلعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتيِ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضاَنُ السَّنَةَ كُلَّهَا، إِنّ اْلجَنَّةَ لَتُزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ اْلحَوْلِ إِلىَ اْلحَوْلِ ...
"Seandainya hamba-hamba tahu apa yang ada di bulan Ramadhan pasti ummatku akan berangan-angan agar Ramadhan itu jadi satu tahun seluruhnya, sesungguhnya Surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya...." hadits ini panjang.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Kitabul Maudhu'at (Kitab tentang Hadits-hadits palsu, 2/188-189) dan Abu Ya'la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada al-Muthalibul Aaliyah (Bab A-B/ manuskrip) dari jalan Jabir bin Burdah, dari Abi Mas'ud Al-Ghifari.
Hadits ini Maudhu' (palsu), cacatnya pada Jabir bin Ayyub, riwayat hidupnya dinukil Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan (2/101) dan (beliau) berkata: "Terkenal dengan kelemahan (dha'if)" beliau juga menukil ucapan Abu Nu'aim tentangnya: "Dia itu suka memalsukan hadits." Al-Bukhari juga berkata, "Haditsnya tertolak", dan menurut an-Nasai, "matruk" (ditinggalkan/tidak dipakai haditsnya)."!!
2. Hadits
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ الله ُصِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلَتِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ اْلخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ... وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَوَسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ ...
"Wahai manusia sungguh telah datang pada kalian bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasanya sebagai kewajiban, dan shalat malamnya sebagai sunnat. Barangsiapa mendekatkan diri di dalamnya dengan suatu perkara kebaikan maka dia seperti orang yang menunaikan suatu kewajiban pada bulan lainnya.. dialah bulan yang awalnya itu rahmat, pertengahannya itu maghfirah/ampunan, dan akhirnya itu 'itqun minan naar/bebas dari neraka.." sampai selesai.
Dua murid terpercaya Syeikh Al-Bani (wafat 2 Oktober 1999) yakni Syeikh Ali Hasan dan Syeikh Al-Hilaly mengemukakan, hadits itu juga panjang dan dicukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur.
Menurut murid ahli hadits ini, hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah juga, (no. 1887), dan Al-Muhamili di dalam Amali-nya (no 293) dan Al-Ashbahani di dalam At-Targhib (Q/178, B/ manuskrip) dari jalan Ali bin Zaid Jad'an dari Sa'id bin Al-Musayyib dari Salman.
Hadits ini, menurut dua murid ulama Hadits tersebut, sanadnya Dhaif (lemah) karena lemahnya Ali bin Zaid.
Ibnu Sa'ad berkata, "Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya," dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, "Tidak kuat". Ibnu Ma'in berkata, "Dha'if." Ibnu Abi Khaitsamah berkata, "Lemah di segala segi", dan Ibnu Khuzaimah berkata: "Jangan berhujjah dengan hadits ini karena jelek hafalannya." demikianlah di dalam Tahdzibut Tahdzib (7/322-323).
3. Hadits
صُوْمُوْا تًصِحُّوْا
"Berpuasalah maka kamu sekalian sehat."
Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Said, dari ad-Dhahhak, dari Ibnu Abbas.
Nahsyal itu termasuk yang ditinggal (tidak dipakai) karena dia pendusta, sedang Ad-Dhahhaak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.
Dan diriwayatkan oleh at-Thabrani di dalam al-Ausath (1/Q, 69/ al-Majma'ul Bahrain) dan Abu Na'im di dalam ath-Thibbun Nabawi, dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhai bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih, dari Abi Hurairah. Sanadnya Dha'if (lemah). (Berpuasa menurut Sunnah Rasulullah SAW, hal. 84).
Peringatan bagi orang yang meninggalkan puasa tanpa alasan dibawakan oleh Abu Umamah Al Bahili, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ketika aku sedang tidur tiba-tiba ada dua orang yang datang dan memegang pangkal lenganku dan membawaku ke sebuah gunung yang tinggi seraya berkata: "naiklah!" aku berkata: "aku tidak bisa", keduanya berkata lagi: "kami akan memberi kemudahan kepadamu", lalu akupun naik sampai ke pertengahan, tiba-tiba terdengar suara keras. Aku bertanya: "Suara apa itu?" Mereka menjawab: "Itu suara teriakan penghuni Neraka" Kemudian mereka membawaku mendaki lagi, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang yang digantung dengan urat belakang mereka, dari pinggiran mulutnya mengeluarkan darah. Aku bertanya: "Siapakah mereka?" Dijawab: "Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa (pada) bulan Ramadhan sebelum tiba waktunya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim, Shalat Tarawih )
"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (Adz-Dzariyat: 17-18).
4. Hadits
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلَى فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa adalah (tetap) di dalam ibadah meskipun dia terbaring (tidur) diatas tempat tidurnya”
Hadits ini sering kali kita dengar, paling tidak, maknanya bahwa ada yang mengatakan tidurnya orang yang berpuasa itu adalah ibadah sehingga kemudian ini dijadikan alasan untuk menghabiskan waktu dengan tidur saja. Bahkan barangkali karenanya, shalat lima waktu ada yang bolong padahal kualitas hadits ini adalah DHO’IF (lemah).
Hadits tersebut disebutkan oleh Imam as-Suyuthiy di dalam kitabnya “al-Jami’ ash-Shaghir”, riwayat ad-Dailamy di dalam Musnad al-Firdaus dari Anas. Imam al-Manawy memberikan komentar dengan ucapannya, “Di dalamnya terdapat periwayat bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl, Imam adz- Dzahaby berkata di dalam kitabnya adh-Dhu’afa, ‘Ibnu ‘Ady berkata, ‘(dia) termasuk orang yang suka memalsukan hadits.”
Menurut Syaikh al-Albany, hadits ini ada pada riwayat yang lain tanpa periwayat tersebut sehingga dengan demikian, hadits ini bisa terselamatkan dari status Maudlu’, tetapi tetap DHO’IF.
Syaikh al-Albany juga menyebutkan bahwa Abdullah bin Ahmad di dalam kitabnya Zawa-`id az-Zuhd, hal. 303 meriwayatkan hadits tersebut dari ucapan Abi al-‘Aliyah secara mauquf dengan tambahan: ما لم يغتب (selama dia tidak menggunjing/ghibah). Dan sanad yang satu ini adalah Shahih, barangkali inilah asal hadits. Ia Mauquf (yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh Shahabat atau Tabi’in) lantas sebagian periwayat yang lemah keliru dengan menjadikannya Marfu’ (hadits yang sampai kepada Rasulullah). Wallahu a’lam. (Silsilah al-Ahadits adl-Dlo’ifah wa al-Maudlu’ah, jld.II, karya Syaikh al-Albany, no. 653, hal. 106).
Semoga dengan penjelasan ini kita lebih berhati-hati di dalam menyaring hadits yang berkembang dan beredar di sekitar kita, dengan menyikapinya secara kritis dan bertanya tentang kualitasnya bilamana ragu untuk mengamalkannya
Bahaya Hadits Dla’if Dan Mawdlu’ (Palsu)
Penyebaran yang secara meluas tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif, di antaranya ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib dan di antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (Syari’at).
Adalah hikmah Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui, bahwa Dia tidak membiarkan hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya dan menjelaskan kepada manusia permasalahannya. Mereka itulah para ulama Ahli hadits dan pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasullah dalam sabdanya, “Semoga Allah mencerahkan (menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan perkataanku lalu menangkap (mencernanya), menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal dan menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarya (karena ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR.Abu Daud dan at-Turmudzy yang menilainya shahih).
Para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka dari kaum Muslimin- telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari sisi keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar yang kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu Ushul Hadits atau yang lebih dikenal dengan Llmu Mushthalah Hadits.
Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa buku yang khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di antaranya yang paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya al-Hafizh as-Sakhawy. Demikian juga buku semisalnya seperti buku-buku Takhriijaat (untuk mengeluarkan jaluar hadits dan kualitasnya) yang menjelaskan kondisi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku pengarang yang buku berasal dari Ahli Hadits (Ulama hadits) dan buku-buku yang berisi hadits-hadits yang tidak ada asalnya seperti buku Nashb ar-Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga dan Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku tersebut sudah dicetak dan diterbitkan.
Sekalipun para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka- telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah mereka, baik buat kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka mengetahui kualitas setiap hadits melalui buku-buku tersebut dan semisalnya, akan tetapi –sangat disayangkan sekali- kami melihat mereka malah telah berpaling dari membaca buku-buku tersebut. Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi hadits-hadits yang telah mereka hafal dari para guru mereka atau yang mereka baca pada sebagian buku yang tidak interes terhadap hadits yang shahih dan valid. Karena itu pula, kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian Mursyid (penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dla’if dan Mawdlu’ tersebut, dan ini amat berbahaya di mana karenanya dikhawatirkan mereka semua akan terkena ancaman sabda beliau SAW., yang berbunyi, “Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)
Walau pun secara langsung mereka tidak menyengaja berdusta, namun sebagai imbasnya mereka tetap berdosa karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits yang semuanya mereka periksa padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya terdapat hadits yang Dla’if atau pun hadits dusta. Mengenai hal ini, terdapat isyarat dari makna hadits Rasulullah yang berbunyi, “Cukuplah seseorang itu berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya (tanpa disaring lagi-red.,).” (HR.Muslim) dan hadits lainnya dari riwayat Abu Hurairah.
Kemudian dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah bahwa tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya dan selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.”
Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasulullah SAW., padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,” setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, “Barangsiapa yang berkata dengan mengatasnamakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan dan makna asalnya terdapat di dalam kitab ash-Shahiihain dan kitab lainnya.
Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang menunjukkan keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,” kemudian beliau mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya, dia berkata, Rasulullah SAW., bersabda, “Barangsiapa yang membicarakan suatu pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta, maka ia adalah salah seorang dari para pendusta.” (Kualitas hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam mukaddimahnya dari hadits Samurah dan al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-sama). Ibn Hibban berkata, “Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia melanjutkan, “Pembahasan mengenai hadits kedua yang menunjukkan keshahihan pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.
Dari apa yang telah kami sampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak boleh menyebarkan hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu melakukan Tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang melakukan hal itu, maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasulullah yang bersabda, “Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah seorang diantara kamu; barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.Muslim dan selainnya), wallahu a’lam.
Referensi:
2. Al-Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet. III.
Wallahu A’lam .
Kesimpulan :
2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah.
3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah merupakan kebiasaan orang-orang kafir.
4. Sikap rela/ridha terhadap perselisihan, -dengan tidak mau mengembalikan penyelesaiannya kepada As-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka.
5. Taat kepada Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Surga; sedangkan durhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang kedalam Neraka dan memperoleh adzab yang menghinakan.
6. Sesungguhnya Al-Qur`an membutuhkan As-Sunnah (karena ia sebagai penjelas Al-Qur’an); bahkan As-Sunnah itu sama seperti Al-Qur`an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah
7. Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membedakan keduanya
Hadits-hadits yang memerintahkan agar mengikuti Nabi dalam segala hal diantaranya:
“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).
2. Abu Rafi’ mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :
“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti”, (HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 12), At-Thahawi IV/209).
3. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga, Pen.).” (HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-HakimAl Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).
Perintah Al-Qur`an agar berhukum dengan As-Sunnah
Perintah Al-Qur`an agar berhukum dengan As-Sunnah
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan As-Sunnah, diantaranya:
1. Firman Allah :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36)
2. Firman Allah :
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 49:1)
3. Firman Allah :
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali Imran: 32)
4. Firman Allah :
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal: 46)
5. Firman Allah :
“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 13-14)
Wajib merujuk kepada As-Sunnah dan haram menyelisihinya
Dalil-dalil yang Menunjukkan Terpeliharanya As-Sunnah:
Pertama:
Firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)
Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.
Sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa seluruh sabda Rasulullah yang berkaitan dengan agama adalah wahyu dari Allah sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)
Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.
Segala apa yang telah dijamin oleh Allah untuk dijaga, tidak akan punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila ada sedikit saja penyelewengan, niscaya akan dijelaskan kebatilan penyelewengan tersebut sebagai konsekuensi dari penjagaan Allah. Karena seandainya penyelewengan itu terjadi sementara tidak ada penjelasan akan kebatilannya, hal itu menunjukkan ketidak akuratan firman Allah yang telah menyebutkan jaminan penjagaan. Tentu saja yang seperti ini tidak akan terbetik sedikitpun pada benak seorang muslim yang berakal sehat.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa agama yang dibawa oleh Muhammad ini pasti terjaga. Allah sendirilah yang bertanggung jawab menjaganya; dan itu akan terus berlangsung hingga akhir kehidupan dunia ini ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 16-17)
Kedua:
Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Ketiga:
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
(a) Perintah Nabi kepada para sahabatnya agar menjalankan As-Sunnah.
(b) Semangat para sahabat dalam menyampaikan As-Sunnah.
(c) Semangat para ulama di setiap zaman dalam mengumpulkan As-Sunnah dan menelitinya sebelum mereka menerimanya.
(d) Penelitian para ulama terhadap para periwayat As-Sunnah.
(e) Dibukukannya Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil.( Ilmu yang membahas penilaian para ahli hadits terhadap para periwayat hadits, baik berkaitan dengan pujian maupun celaan, Pen.)
(f) Dikumpulkannya hadits–hadits yang cacat, lalu dibahas sebab-sebab cacatnya.
(g) Pembukuan hadits-hadits dan pemisahan antara yang diterima dan yang ditolak.
(h) Pembukuan biografi para periwayat hadits secara lengkap
As-Sunnah Terjaga Sampai Hari Kiamat
Pengertian As-Sunnah
Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Termasuk didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih (Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam karya As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Para ulama juga menafsirkan firman Allah :
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah hal. 24)
RSS Feed
Twitter
